Skip navigation

Category Archives: travel

Minggu, 9 Januari 2011 adalah kesempatan yang sudah lama saya tunggu-tunggu, karena hari ini bersama Komunitas Aleut! saya akan mengunjungi Arboretum Unpad di Jantinangor. Perjalanan rutin Komunitas Aleut! setiap hari Minggu segera mulai pada jam 8 pagi dari Stasiun KA Bandung di Jl. Kebonkawung.

Agak berbeda dengan kebiasaan menggunakan bis DAMRI bila berkunjung ke daerah Jatinangor, kali ini kami menggunakan kereta api rakyat. Murah meriah dan lebih cepat pula sampainya. Selang beberapa belas menit kami sudah tiba di Rancaekek. Dari sini kami lanjutkan dengan naik angkot ke Cikeruh melalui daerah Sayang.

Singkat cerita, dari Cikeruh perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri sungai Ci Keruh, kanal pengairan, dan pematang-pematang sawah hingga mencapai kawasan kampus Unpad. Di sini kami sempat mampir ke Jembatan Cincin atau Jembatan Cikuda, sebuah jembatan lintasan rel kereta api yang dibangun tahun 1918 namun sudah tidak berfungsi lagi. Usai berbagi informasi ringan mengenai sejarah perkereta-apian di Bandung, rombongan melintasi beberapa kompleks fakultas di kawasan kampus Unpad untuk menuju Arboretum.

Dari lokasi yang lebih tinggi, Arboretum tampak seperti sebuah hutan kecil di kompleks kampus Unpad. Luasnya sekitar 12,5 hektar dan terbagi dalam beberapa ekosistem, kolam, hutan, kebun, ladang, dan sawah. Kami tiba di sisi kolam yang saat itu sedang menjadi ajang permainan beberapa ekor angsa dan bebek. Di dekat kolam ini terdapat beberapa bangunan yang umumnya berbahan bambu atau kayu. Ada juga sebuah replika rumah tradisional Baduy dan musholla. Kami langsung menyebar mengambil posisi yang nyaman untuk beristirahat karena sebentar lagi waktunya makan siang bersama dengan membuka bekal masing-masing.

Arboretum ini sungguh tempat yang nyaman. Ada banyak keteduhan dan kesejukan di sini. Sekeliling kita adalah pohon, pohon, dan pohon. Arboretum berasal dari kata Latin, arbor yang berarti pohon dan retum yang berarti tempat. Tempat menanam pohon. Penanaman pohon di Arboretum bertujuan untuk dijadikan sarana penelitian dan pendidikan. Perintisannya dimulai sejak tahun 1994 menggunakan lahan sekitar 2 hektar bekas Kampung Kiciat, tahap berikutnya area diperluas ke arah Kampung Jawa. Penduduk kedua kampung ini dipindahkan ke Tanjungsari.

Arboretum Unpad sekarang ini sungguh merupakan tempat yang tepat untuk belajar kenal berbagai hal tentang lingkungan hidup. Mulai dari soal konservasi udara, konservasi tanah dan air, konservasi tumbuh-tumbuhan dan hewan. Dalam arboretum juga diternakkan sejumlah hewan ternak dan unggas sebagai model ekologi pedesaan. Selain melindungi mata air yang sudah ada di kawasan kampus Unpad, beberapa mata air baru juga muncul di sini.

Usai makan siang, dua orang penanggung-jawab Arboretum datang menghampiri, masing-masing Bpk. Trihadi S dan Bpk. Joko Kusmoro. Merekalah yang akan banyak berbagi cerita untuk Aleut! hari ini. Usai saling memperkenalkan diri, mengalirlah banyak sekali informasi seputar Arboretum. Mulai dari sejarah perintisannya, tahap perluasan, hingga berbagai kesulitan dalam mendapatkan bibit-bibit pohon yang sudah langka. Diceritakan bahwa penanaman pepohonan dalam Arboretum ini terbagi dalam beberapa pengelompokan atau zona. Ada zona tanaman langka, zona tanaman jati-diri, zona tanaman obat, zona tanaman bahan bangunan, dan zona budidaya. Kami diajak berkeliling untuk diperkenalkan lebih jauh pada koleksi pepohonan yang ada.

Inilah bagian paling menarik dalam perjalanan hari ini, Tour Arboretum! Secara tak terduga kami mendapatkan banyak sekali informasi tentang nama-nama tumbuhan yang dijadikan nama tempat. Banyak di antaranya adalah nama yang sudah sangat akrab di telinga namun tidak pernah kami ketahui artinya. Seperti jamuju, jeunjing, kosambi, lame, renghas, bayur, bintaro, ketapang, limus, waru, dadap, gambir, menteng, kapundung, sentul, dan banyak lagi lainnya yang sekarang ini lebih dikenali sebagai nama tempat.

Yang lebih menarik lagi tentunya karena semua hal yang diceritakan dalam kunjungan ini sekaligus juga dapat kami saksikan pohonnya masing-masing. Dalam catatan saya, hari ini kami menyaksikan dan mendengarkan cerita tentang 53 jenis pohon!

Sumber informasi :
Bpk. Prihadi S dan Bpk. Joko Kusmoro sebagai narasumber di Arboretum Unpad
http://www.biologi.unpad.ac.id/?p=68
http://en.wikipedia.org/wiki/Arboretum

by Ridwan Hutagalung on Friday, January 21, 2011 at 11:40am

Pangeran Angkawijaya bergelar Prabu Geusan Ulun (1558-1601 M) adalah raja Sumedanglarang ke-9 yang bertahta pada 1578-1601 M. Ibunya, Satyasih atau Ratu Inten Dewata (lebih populer dengan gekar Ratu Pucuk Umun) adalah raja Sumedanglarang ke-8. Ratu Pucuk Umun menikah dengan Raden Solih (Ki Gedeng Sumedang atau lebih populer dengan gelar Pangeran Santri), cucu dari Pangeran Panjunan. Pangeran Santri kemudian menggantikan Ratu Pucuk Umun sebagai Raja Sumedanglarang dengan gelar Pangeran Kusumahdinata I dan memerintah pada 1530-1578 M.

Pada masa ini Kerajaan Sunda mengalami kejatuhan ke tangan Kesultanan Surasowan Banten. Namun mahkota kerajaan, Mahkota Binokasih, sempat diserahkan kepada Raja Sumedanglarang sebagai simbol pewarisan bekas wilayah Kerajaan Sunda. Prabu Geusan Ulunlah yang menerima pewarisan ini. Wilayah kekuasaan Sumedanglarang saat itu seluas Jawa Barat sekarang tidak termasuk Banten dan Jakarta yang dibatasi oleh sungai Ci Sadane, dan Cirebon dengan batas sungai Ci Pamali.

Pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun, pusat kerajaan sempat dipindahkan dari Kutamaya ke Dayeuhluhur, sebuah kabuyutan di atas bukit. Pemindahan ini berkaitan dengan peperangan antara Sumedanglarang dengan Keraton Panembahan Ratu Cirebon.

Sebelum tahun 1585 Prabu Geusan Ulun pernah berguru agama Islam ke Demak dan Pajang. Di Pajang, Geusan Ulun bertemu dan memadu cinta dengan Harisbaya, seorang putri Pajang berdarah Madura. Sayang hubungan percintaan ini harus putus di tengah jalan karena urusan politik antarkerajaan.

Saat Raja Pajang, Hadiwijaya wafat, keluarga Trenggono di Demak menghendaki agar penggantinya adalah Arya Pangiri, menantu Hadiwijaya dan putra Sunan Prawoto dari Mataram. Namun keluarga Panembahan Ratu Cirebon berkeinginan lain, mereka meminta agar putra bungsu Hadiwijaya, Pangeran Banowo, yang menggantikan Hadiwijaya. Untuk mendiamkan Panembahan Ratu, Arya Pangiri “memberikan” Harisbaya kepada Panembahan Ratu untuk dijadikan istri keduanya. Arya Pangiri pun berhasil meneruskan Hadiwijaya sebagai penguasa Pajang.

Setelah usai belajar agama di Demak, dalam perjalanan pulangnya Geusan Ulun sempat mampir bertamu ke Panembahan Ratu untuk mengucapkan selamat atas pernikahannya dengan Harisbaya. Namun di luar dugaan, pertemuan dengan Harisbaya di Cirebon ternyata mengakibatkan CLBK alias cinta lama bersemi kembali.

Kerinduan dan cinta yang menggebu telah membuat Harisbaya mengendap-endap mendatangi tajug peristirahatan keraton dan membujuk Geusan Ulun agar membawa serta dirinya ke Sumedanglarang. Bila keinginan ini tidak dipenuhi oleh Geusan Ulun, Harisbaya memutuskan akan bunuh diri saja. Setelah berembuk dengan para pengawalnya, maka diputuskanlah malam itu juga mereka pergi secara diam-diam meninggalkan Keraton Panembahan Ratu.

Keesokan harinya keraton gempar karena para tamu dari Sumedanglarang telah tidak ada lagi di tajugnya dan bersama dengan itu Ratu Harisbaya juga ikut menghilang. Sejumlah prajurit dikerahkan untuk mengejar Geusan Ulun dan Harisbaya. Namun ketangguhan Patih Jaya Perkasa yang sungguh perkasa, berhasil memukul mundur seluruh prajurit ini.

Peristiwa ini memicu peperangan antara Sumedanglarang dengan Cirebon. Pasukan Sumedanglarang dipimpin langsung oleh Patih Jaya Perkasa. Sebelum berangkat perang Jaya Perkasa sempat menanam pohon hanjuang di Kutamaya, pusat kerajaan Sumedanglarang. Pohon hanjuang ini adalah tanda mengenai keberadaannya. Pohon hanjuang akan mati bila Jaya Perkasa kalah atau mati dalam perang dan akan tetap hidup bila berhasil memenangkan peperangan.

Namun perang berlangsung terlalu lama. Rupanya jumlah prajurit dari Cirebon terlalu banyak sehingga tidak mudah menaklukkannya. Sementara itu Geusan Ulun gelisah menunggu. Tak sabar menanti, seorang pengawal lain bernama Nangganan berprasangka jangan-jangan Jaya Perkasa sudah gugur di medan perang. Ia menganjurkan agar Geusan Ulun mengungsi saja ke daerah yang lebih aman, ke sebuah kabuyutan di puncak bukit yang bisa dijadikan benteng alami, Dayeuhluhur. Anjuran disetujui, dan pusat kerajaan Sumedanglarang segera dipindahkan ke Dayeuhluhur. Nangganan lupa, ia tidak memeriksa keadaan pohon hanjuang di Kutamaya…

Sementara itu, Jaya Perkasa ternyata berhasil memenangkan perang. Namun saat kembali ke Kutamaya yang ditemuinya hanyalah kesunyian. Pusat kerajaan telah kosong. Pohon hanjuangnya masih tetap hidup. Setelah mengetahui tentang kepindahan pusat kerajaan ke Dayeuhluhur, Jaya Perkasa segera menyusul ke sana dan menemui Geusan Ulun. Dalam kemarahan Jaya Perkasa membunuh Nangganan dan pergi meninggalkan rajanya sambil bersumpah tidak akan mau mengabdi lagi kepada siapa pun.

Di Cirebon, Panembahan Ratu menceraikan Harisbaya dengan ganti talaknya daerah Sindangkasih. Prabu Geusan Ulun menikahi Harisbaya sebagai istri kedua dan mendapatkan dua anak, Raden Suriadiwangsa dan Pangeran Kusumahdinata. Sedangkan dari istri pertamanya, Nyi Gedeng Waru, lahir seorang anak, Rangga Gede. Setelah wafatnya Geusan Ulun pada 1601, maka berakhir pula masa kerajaan Sumedanglarang karena dalam periode waktu berikutnya Sumedang dijadikan wilayah kabupaten yang berada dalam kekuasaan Mataram. Putra Geusan Ulun, Raden Suriadiwangsa menjadi Bupati Sumedang pertama (1620-1625) dan lebih dikenal dengan gelar Pangeran Dipati Ranga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol.

Boleh percaya atau tidak, kono pohon hanjuang di Kutamaya itu masih tetap hidup sampai sekarang.

Catatan :
– Para pengawal Geusan Ulun yang turut menemani ke Demak adalah prajurit yang sama yang mengantarkan Mahkota Binokasi. Mereka biasa disebut Kandaga Lante. Masing-masing adalah Sanghiang Hawu atau Jaya Perkasa, Batara Dipati Wiradijaya atau Nangganan, Sanghiang Kondang Hapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot.
– Makam Nangganan terletak di lereng Dayeuhluhur.

Catatan ini disarikan dengan susah payah dari :

Sumedanglarang; Insun Medal Insun Madangan, 2008, R. Abdul Latief, R. Supian Apandi, R. Lucky Dj. Sumawilaga (Tanpa nama penerbit)
* Tata bahasa dalam sumber buku yang saya pergunakan ini kurang baik sehingga cukup merepotkan dalam mengartikan kalimat-kalimat dan maknanya. Mesti hati-hati dan ekstra teliti membacanya.

Foto-foto :
http://www.facebook.com/album.php?id=519229089&aid=284054


Semestinya pada hari Minggu, 16 Januari 2011 ini saya dan Komunitas Aleut! akan melakukan kegiatan rutin ngaleut (Sunda: berjalan beriringingan) dengan tema “Merawat Pohon”, namun beberapa hal teknis membuat kegiatan ini dibatalkan. Narasumber yang akan berbagi informasi dan pengetahuan seputar pepohonan dan lingkungan tak dapat hadir sementara kami, para peserta, adalah orang-orang yang sangat awam mengenai hal ini. Tapi kami tidak ingin menyerah. Seorang peserta yang cukup memiliki wawasan tentang lingkungan bersedia untuk berbagi sedikit cerita dan pengetahuannya tentang pohon dan lingkungan. Sebagai rute perjalanan kami pilih saja rute “Ngaleut Taman I”. Komunitas Aleut! memang memiliki puluhan rute-rute standar untuk kegiatan ngaleutnya di Kota Bandung dan sekitarnya. Khusus untuk tema taman, Komunitas Aleut! membaginya menjadi dua rute berbeda.

Setelah terkumpul beberapa belas peserta di Taman Ganesha depan kampus ITB. Perjalanan pun dimulai dengan penceritaan mengenai fungsi taman bagi sebuah kota. Sebuah taman mengumpulkan banyak tetumbuhan dan pepohonan di dalamnya. Kumpulan pepohonan ini memroduksi oksigen yang banyak bagi kebutuhan hidup manusia. Apalagi di sebuah kota dengan tingkat polusi yang cukup tinggi seperti Bandung, keberadaan taman-taman sudah merupakan sebuah keharusan. Pepohonan memberikan oksigen yang dibutuhkan oleh manusia dan menyerap racun yang berkeliaran di udara yang kita hirup sehari-hari. Sebuah taman dalam kota dapat membantu memelihara udara, tanah, air, tumbuh-tumbuhan, dan hewan-hewan .

Di Taman Ganesha ini juga diceritakan tentang latar belakang pembuatannya sebagai penghargaan terhadap perintis pendirian Technische Hooge School (THS yang kemudian menjadi ITB), Dr. Ir. J.W. Ijzerman, sehingga pada masa Hindia-Belanda taman ini dinamakan Ijzermanpark. Sejak awal pendiriannya, Ijzermanpark yang dulu indah ini sudah menjadi tujuan rekreasi warga Kota Bandung. Warga dapat datang untuk sekadar duduk santai atau membaca sambil menghirup udara yang segar atau berjalan-jalan mengelilingi taman sambil menikmati gemercik air mancur di kolam di tengah taman. Hijau rerumputan, berbagai pepohonan dan warna-warni bebungaan memang sangat menyegarkan mata siapa pun yang memandangnya.

Sayang sekali kondisi Taman Ganesha sekarang tidak sebaik dulu karena di berbagai tempat tampak tanah yang becek dan biasa tergenang pada saat hujan, air kolam yang kusam pekat dan tidak ada air yang mancur. Walaupun begitu, sejumlah pepohonan memang masih ada di sini memberikan sedikit keteduhan. Setiap hari Minggu masih tampak warga yang datang piknik ke taman ini sambil menunggui anak-cucunya bermain tunggang kuda di sekitar kawasan ini. Agak aneh juga melihat kondisi ini karena di ujung Jl. Gelap Nyawang kami temui sebuah tiang besi dengan plakat bertuliskan “Kawasan Bersejarah – Revitalisasi Kawasan Taman Ganeca/Ijzerman Park 1919.” Mungkin program revitalisasi memang pernah dilaksanakan di sini, namun yang tampaknya tidak dilakukan  adalah perawatan dan pemeliharaannya.

Dari Taman Ganesha, rombongan ngaleut berjalan ke Jl. Ciung Wanara. Ruas jalan ini cukup bersih. Di kanan-kiri jalan pepohonan masih menjulang tinggi. Sayangnya tidak ada keterangan nama pohon, sehingga hanya beberapa pohon saja yang berhasil dikenali. Di antaranya adalah pohon kersen. Pohon yang rindang dengan daun-daun kecil ini masih satu keluarga dengan pohon sakura. Daun dan bunganya yang berwarna putih, berukuran kecil-kecil namun cantik. Saat masih anak-anak di Kampung Pasirmalang, saya senang naik ke atas pohon kersen dan duduk-duduk hingga tertidur di dahannya. Teduhnya pohon dan sejuknya angin semilir masih suka terbayang bila melihat pohon kersen. Pengalaman itu tak pernah terulang lagi hingga kini.

Ruas Jl. Ciung Wanara tampaknya terpelihara cukup baik. Beberapa papan pengumuman berisi pesan agar tidak melukai dan merusak pohon terpasang di beberapa tempat. Mungkin itu sebabnya pepohonan di sini bersih dari kotoran tempelan-tempelan pengumuman atau iklan-iklan yang biasa dipasang pada pohon. Untuk sampah pun warga menyediakan tong-tong khusus dengan keterangan yang jelas fungsinya. Ini pembelajaran yang sangat baik untuk masyarakat awam.

Saya teringat kegiatan Komunitas Aleut! pada 19 Desember 2010, yang untuk kesekian kalinya mengadakan perjalanan menyusuri sungai Ci Kapundung. Di sekitar Kelurahan Taman Sari kami saksikan sendiri bagaimana warga kampung padat itu membuat papan-papan pesan kebersihan lingkungan sepanjang aliran sungai secara swadaya. Saat itu saya berpikir bahwa cara paling baik dalam menyebarkan rasa kepedulian masyarakat terhadap lingkungan adalah dengan cara pelibatan langsung anggota masyarakat dan bukan melalui penyuluhan-penyuluhan formal yang seringkali terasa membosankan dan akhirnya tidak didengarkan. Di Taman Sari kami saksikan sendiri warga yang bangga terhadap Ci Kapundung walaupun mereka tau persis seperti apa kotornya air yang mengalir melalui kampungnya. Dengan bangga dan gembiranya mereka berenang dan bermain di Ci Kapundung. Dengan bangga pula mereka menjaga sendiri kebersihan Ci Kapundung di wilayahnya.

http://www.facebook.com/album.php?aid=272090&id=519229089

Pada tubuh pepohonan di ruas Jl. Ciung Wanara rombongan Aleut! dapat memerhatikan beberapa karakter pohon, seperti lumut kerak yang menempel pada batangnya. Lumut kerak ini dapat dijadikan petunjuk mengenai tingkat polusi lingkungan di sekitarnya. Kualitas udara memengaruhi keberadaan lumut kerak, semakin sedikit lumutnya adalah tanda semakin rusaknya lingkungan sekitar. Tak heran, Jalan Dago memang ruas jalan yang selalu ramai oleh kendaraan sejak dulu, apalagi belakangan ini kepadatan lalu-lintas di Dago dan sekitarnya semakin meningkat saja, hampir setiap akhir pekan selalu saja macet oleh kepadatan kendaraan. Semua kendaraan ini memroduksi racun yang dikeluarkan melalui knalpotnya dan kita hirup sepanjang waktu.

Perjalanan dilanjutkan ke arah bekas Taman Cikapayang yang berada di depan Gereja GII. Yang disebut sebagai Taman Cikapayang saat ini adalah bekas lokasi pom bensin di depan gereja dan sekarang sering dijadikan tempat berkumpulnya anak-anak muda Bandung untuk melakukan berbagai kegiatan. Di bagian depan taman terdapat tulisan warna-warni berukuran besar, D-A-G-O. Walaupun tampak asri oleh bebungaan namun taman ini tidak tampak rindang seperti keadaannya dulu. Sampai akhir tahun 1990-an Taman Cikapayang (paralel dengan Jl. Cikapayang) masih dapat disaksikan bersambung dengan Taman Surapati (paralel dengan Jl. Prabudimuntur) di seberangnya. Namun kedua taman ini ternyata harus berkorban karena dilenyapkan untuk pembangunan jalan layang Pasupati pada awal tahun 2000-an.

Dari Taman Cikapayang rombongan menuju ke Rektorat ITB di simpang Jl. Sulanjana-Jl. Taman Sari. Mulai dari sini banyak sekali kami saksikan penyiksaan pepohonan di sepanjang jalan yang kami lalui. Sejumlah iklan dipaku di batang pohon. Untuk menempelkan selembar kertas berlapis plastik (!) pemasangnya menggunakan paku berukuran sekitar 5cm! Empat paku untuk setiap iklan yang ditanam dalam-dalam pada batang pohon. Iklan yang gambarnya ada di bawah ini tampaknya disebarkan di banyak tempat karena saat pulang nanti saya masih akan melihat iklan-iklan serupa di pasang juga pada batang pepohonan di sekitar Jl. Lengkong Besar. Berapa banyak pohon yang teraniaya untuk sebuah iklan yang jelek seperti ini? Masih ada puluhan atau mungkin ratusan paku lainnya dapat ditemui di pohon-pohon, sebagian besar sudah berkarat karena sudah lama dibiarkan menancap di sana.

Saya ingin tahu juga adakah aturan yang melindungi keberlangsungan kehidupan pepohonan di perkotaan? Adakah aturan yang dapat melarang perusakan pohon seperti ini? Bila tidak ada dan ini dianggap perlu, kenapa tidak dibuatkan segera aturannya? Bila memang aturan tersebut ada, kenapa pihak yang berwenang tidak langsung saja menghubungi nomor-nomor kontak yang tertera pada iklan atau siapa pun yang harus bertanggung-jawab atas pemasangannya agar mempertanggung-jawabkan perbuatannya? Atau dapatkah kita yang peduli lingkungan, komunitas-komunitas, para pegiat lingkungan dan alam, atau LSM-LSM melakukan penyadaran dalam masyarakat yang lebih luas tentang bagaimana seharusnya memperlakukan pepohonan dan tumbuh-tumbuhan di sekitar kita? Penyadaran tentang pentingnya memelihara kesehatan dan kehidupan pepohonan di sekitar kita…

Di persimpangan Jl. Sulanjana-Jl. Taman Sari ini kami saksikan juga hal lain. Sebuah spanduk yang sudah sangat kusam, berlubang-lubang dan terpilin, masih saja berkibar dengan gagahnya entah untuk tujuan apa. Spanduk kumuh ini bergabung dengan seliweran kabel-kabel, tempelan berbagai poster iklan di tiang listrik, plang ini-itu yang semuanya menyatu merusak pemandangan kota, merusak penglihatan warga kota. Ribuan tempelan poster di tembok-tembok dan tiang-tiang di Kota Bandung tidak pernah dibersihkan setelahnya. Tak adakah aturan untuk hal semacam ini?

Menjaga keasrian suasana kota adalah tanggung jawab kita semua, tetapi tanpa ada aturan yang jelas sering membuat kesadaran sebagian warga malah berujung dengan perasaan frustrasi. Bapak Sariban bisa memiliki kesadaran untuk mencabuti paku-paku dari pepohonan sementara pada saat yang sama ratusan paku lainnya sedang ditancapkan di seantero Bandung. Kadang-kadang Komunitas Aleut! juga mengumpulkan sampah-sampah di lokasi tertentu (seperti pernah dilakukan di Pawon, Manglayang, Jl. Braga, Gn. Patuha, dll) namun betapa frustrasinya saat mengetahui bahwa pada saat yang sama dan di lokasi yang sama sampah-sampah terus ditaburkan oleh warga lainnya. Apa hasil dari kesadaran yang baik? Ke mana semua ini akan berujung?

Baiklah, jawabannya mungkin akan klise, seperti yang sering didengungkan di rumah-rumah ibadah tentang berbuat baik, seperti yang dicontohkan oleh Bapak Sariban, bahwa apapun yang terjadi maka nyala kesadaran yang betapa pun kecilnya tak boleh padam. Sekecil apa pun yang dapat kita lakukan dalam menjaga lingkungan ini akan selalu ada gunanya. Nyala yang kecil tetap lebih baik ketimbang mati sama sekali. Nyala yang kecil adalah harapan. Hari ini Komunitas Aleut! berikrar bahwa dengan caranya sendiri akan selalu menyertakan agenda kesadaran lingkungan dalam setiap kegiatannya.

Sekarang satu orang disadarkan, besok satu orang lagi, lusa satu orang lagi, minggu depan satu orang lagi, bulan depan satu orang lagi, dan begitu seterusnya, sampai entah kapan akan dapat kita lihat bersama bahwa ternyata masih lebih banyak orang yang memiliki dan melaksanakan kesadarannya daripada yang tidak. Hingga suatu saat nanti pemandangan seperti ini dapat kita saksikan di setiap penjuru kota, di setiap rumah dan gedung, dan di setiap waktu tanpa harus jauh-jauh pergi ke pinggiran kota seperti sekarang ini….

Ridwan Hutagalung – Komunitas Aleut!

aleut.wordpress.com

Catatan :

–          Komunitas Aleut! adalah sebuah komunitas independen di Kota Bandung, sebagian besar anggotanya terdiri dari mahasiswa yang berasal dari berbagai sekolah tinggi di Bandung. Awalnya perhatian komunitas ini ditujukan hanya untuk pengembangan wawasan sejarah masyarakat umum, namun belakangan berkembang menjadi komunitas belajar dengan minat yang luas, apresiasi sejarah, apresiasi wisata, apresiasi film dan musik, apreasiasi lingkungan, dst. Saat ini anggota resmi yang tercatat sekitar 300 orang (registrasi 2009/2010). Sejak terbentuk pada tahun 2006, hampir setiap minggu mengadakan perjalanan (berjalan kaki) dengan tema dan rute tertentu di Kota Bandung dan sekitarnya. Setiap hasil perjalanan dituliskan dalam catatan di facebook atau blog pribadi yang kemudian dikumpulkan dalam aleut.wordpress.com

–          Kata “ngaleut” atau “aleut” dalam catatan ini sengaja tidak dimiringkan karena sudah kami anggap sebagai kosa kata sehari-hari kami. Kata “aleut” berasal dari bahasa Sunda yang artinya “berjalan beriringan”.

–          Link tentang Bapak Sariban http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=165229

Foto-foto : Ridwan Hutagalung dan Komunitas Aleut!

Sumber :

–          Tim Penulis PR, 2010, 200 Ikon Bandung; Ieu Bandung, Lur!, Pikiran Rakyat, Bandung.

–          Informasi Nara Wisesa dalam “Ngaleut Taman I”, 16 Januari 2011

–          Diskusi FB Bpk. Sobirin http://www.facebook.com/photo.php?fbid=145831052138916&set=at.104755639579791.17673.100001360672886.100001360672886&ref=nf

–          Informasi dari Bpk. Joko Kusmoro dan Bpk. Prihadi S dari Arboretum Unpad saat “Ngaleut Arboretum”, tanggal 9 Januari 2011.

by Ridwan Hutagalung on Wednesday, March 3, 2010 at 12:58am

Pada tanggal 27 Februari lalu, Truedee menyelenggarakan sebuah program tour dengan nama Jajal Geotrek III (Tangkuban Parahu-Kebun Teh Hegarmanah/Ciater). Sebelumnya sudah dua program Jajal Geotrek diselenggarakan, masing-masing Jajal Geotrek I (tak ikut dan tak punya datanya euy, tapi jalurnya di sekitar utara Kota Bandung, antara Gunung Batu sampai Batuloceng) dan Jajal Geotrek II : Gn. Puntang-Malabar (28 November 2009). Bisa dipastikan semua program susur alam tersebut berlangsung dengan meriah dan menyenangkan bagi semua pesertanya, apalagi dua interpreter andal selalu menyertai perjalanan ini, Budi Brahmantyo dan T. Bachtiar.

Penamaan program Jajal Geotrek tentu saja berhubungan dengan buku Wisata Bumi Cekungan Bandung yang ditulis oleh Budi Brahmantyo & T. Bachtiar dan diterbitkan oleh Truedee Pustaka Sejati (Bandung, 2009). Buku ini memuat 9 jalur perjalanan dengan muatan geowisata di Kota Bandung dan sekitarnya. Setiap jalur dirangkai dengan menarik agar selalu memiliki benang merah dan mampu menyampaikan serpihan informasi dari berbagai disiplin ilmu terutama geologi, geografi, ilmu sejarah, dan pengetahuan lingkungan hidup. Jalur-jalur geotrek dalam buku inilah yang kemudian dibuatkan paket-paket “praktek”nya oleh Truedee dengan nama Jajal Geotrek.

Lalu apa yang menarik dari program Jajal Geotrek? Yang paling utama tentunya kehadiran kedua interpreter yang memang paham betul tentang objek-objek yang dikunjungi. Sejak rombongan menjejakkan kaki di sisi Kawah Ratu, mengalirlah semua penjelasan tentang fenomena alam yang dikunjungi oleh rombongan. Mulai dari sejarah kelahiran Gunung Tangkuban Parahu, gunung-gunung purba yang mendahuluinya dan kaitannya dengan danau purba di cekungan Bandung. Berbagai tipe gunung api dan letusannya serta fenomena alam di sekitarnya juga disampaikan dengan bahasa ringan disertai contoh-contoh dan gurauan yang memudahkan penyerapan informasi oleh para peserta (semoga bener..).

Dengan interpreter yang sangat egaliter, perjalanan yang ditempuh oleh seluruh rombongan menjadi tidak terasa membebani. Hubungan yang terbentuk tidak lagi seperti antara “ahli” dengan “awam” melainkan lebih sebagai sesama teman. Semua pertanyaan akan mendapatkan jawaban sepanjang penguasaan pengetahuan interpreter (dan akan diakui dengan rendah hati bila ternyata mereka tidak menguasai topik-topik tertentu). Bagi saya pribadi, kerendah-hatian seperti ini telah berhasil memperpendek jarak-jarak pengetahuan, pengalaman, dan senioritas antara interpreter dengan para peserta tour. Saya sendiri selalu percaya egalitarianisme adalah jalan masuk paling efektif untuk masuk ke generasi yang lebih muda. Sayangnya fenomena ini bukanlah fenomena yang cukup umum dalam sebagian besar masyarakat kita.

Demikianlah perjalanan-perjalanan Jajal Geotrek yang diselenggarakan oleh Truedee telah berhasil memberikan banyak bekal bagi para pesertanya, tidak melulu tentang keindahan objek alam yang memang sudah tersedia dengan sendirinya namun juga berbagai fenomena dan cerita lain yang melatarinya.

Jajal Geotrek III mengambil Jalur Geotrek I dari buku Wisata Bumi Cekungan Bandung dengan rute Kawah Ratu-Kawah Upas-Kawah Domas-Hutan Tropis-Kebun Teh Hegarmanah/Ciater. Semua jalur perjalanan ini ditempuh dengan berjalan kaki kecuali perjalanan berangkat dan pulang ke titik awal dan dari titik akhir yang ditempuh dengan menggunakan dua buah bis. Biaya Rp. 120.000/orang ternyata tidak menyurutkan jumlah peserta yang antusias untuk turut dalam perjalanan ini, tercatat ada 56 orang peserta (nyontek catatan Ruri) yang hadir. Biaya tersebut dipergunakan untuk keperluan transportasi, makan siang, tiket masuk kompleks Tangkuban Parahu, dan mencetak leaflet yang sangat bagus dan informatif.

Dengan makna perjalanan yang seperti ini tampaknya saya sudah mencatatkan diri untuk selalu serta dalam program-program Jajal Geotrek berikutnya, bukan demi kesenangan mengikuti tour itu sendiri (yang secara mingguan saya lakukan juga bersama Komunitas Aleut!) melainkan lebih demi kecintaan saya terhadap kota yang menjadi tempat hidup saya sekarang, Bandung.

Terimakasih untuk Truedee (Ummy & Ruri), Budi Brahmantyo, dan T. Bachtiar.