Skip navigation

Tag Archives: Piramida

Catatan Kunjungan ke Gunung Lalakon dan Gunung Sadahurip, November 2011

by Ridwan Hutagalung on Monday, November 21, 2011 at 4:35pm

Nama pasangan Hans Berekoven dan Rozeline Berekoven, mulai mencuat saat diselenggarakannya Konferensi Internasional Alam, Falsafah, dan Budaya Sunda Kuno di Hotel Salak, Bogor, pada 25-27 Oktober 2011 lalu. Kehadiran pasangan berkebangsaan Australia ini dalam konferensi tersebut tentu saja mempunyai alasan. Beberapa tahun lalu, Hans & Roz memboyong keluarganya berlayar dari Fremantle ke Bali dengan membawa mimpi besar, menguak sejarah purba peradaban Nusantara melalui sebuah ekspedisi kelautan.

Hans menyimpan sebuah dugaan besar tentang masa lalu, terutama pada Zaman Es. Pada puncak zaman itu sebagian besar Eropa Utara tertutup lapisan es tebal, sebagian di antaranya mencapai ketebalan hingga 2000 meter. Level air di dunia saat itu berada hingga 150 meter lebih rendah daripada keadaan sekarang. Artinya, wilayah Laut Cina Selatan dan Laut Jawa pada masa itu terekspos menjadi lahan kering yang datar dan luas. Pada saat itu terjadi migrasi manusia yang sebelumnya meninggali Benua Asia menuju Zona Tropis di bagian selatan, yaitu di wilayah Indonesia sekarang.

Hans beranggapan, saat itu, wilayah Paparan Sunda merupakan permukiman terbaik yang ada di dunia. Dengan begitu, sekaligus juga merupakan lokasi utama bagi akar peradaban. Walaupun Hans tidak menolak kepercayaan umum bahwa budaya pertanian dan peternakan dimulai sekitar 8000-10,000 tahun yang lalu, namun dia juga mengajukan pertimbangan bahwa bisa saja hal itu sudah terjadi 6000 tahun sebelumnya. Para pengumpul dan pemburu yang bermigrasi ke wilayah selatan memicu tumbuhnya budaya pertanian dan peternakan di sini. Sekarang memang sulit untuk mendapatkan buktinya, tapi hans memiliki alasan, katanya, “Kita tidak menemukan buktinya karena kita hanya mencari buktinya di daratan. Padahal bukti itu kini berada di bawah air.”

Hans yakin bahwa pencarian jejak-jejak peradaban kuno mesti dilakukan di lembah-lembah dan delta-delta sungai kuno yang kini terkubur di bawah lapisan lumpur di kedalaman 40 sampai 60 meter di Laut Jawa. Untuk mencarinya diperlukan pemindai sonar dan kapal selam mini yang dapat dioperasikan dengan remote control, dan tentunya peralatan selam. Hans yakin di bawah sana akan ada gundukan-gundukan yang tidak alamiah sisa peradaban purba tersebut.

 

Hans adalah seorang mantan kapten kapal survey kelautan di Australia. Ia bersama istrinya memiliki sebuah properti seluas 1200 hektare bernama Kangaroo Camp di Bombala. Di sini mereka membangun rumah tinggal dan kompleks perkebunan anggur tertinggi di Australia. Produksi wol halus mereka termasuk yang terbaik di Australia. Hingga 2005 pasangan ini telah mendapatkan 3 buah penghargaan untuk keunggulan di bidang pariwisata.

Namun demi mewujudkan mimpi mereka, semua properti itu mereka sewakan kepada pihak lain, serta menjual 2000 wol halus agar dapat membeli kapal laut kecil berukuran panjang 19 meter yang dinamai Southern Sun. Biaya ini juga mereka perlukan untuk mengawali ekspedisi arkeologi kelautan Paparan Sunda yang sudah memenuhi benak mereka. Maka pada tahun 2005 berangkatlah keluarga ini menuju Bali sebagai basecamp pertama mereka.

Selanjutnya adalah mengurus perizinan penelitian kelautan kepada pemerintah Indonesia. Upaya ini rupanya tidak berjalan mulus. Proses perizinan berlangsung hingga dua tahun dan tampaknya jalan sukar sudah di depan mata, pemerintah Indonesia menerapkan persyaratan yang terlalu besar untuk dapat mereka biayai, sehingga akhirnya ekspedisi ini mereka tangguhkan dulu untuk sementara.

Sementara itu, Hans & Roz sudah membawa Southern Sun untuk bermarkas di Miri, Sarawak. Di sini mereka menggunakan sebagian besar waktu untuk mencari sejumlah sisa kapal perang yang tenggelam saat Perang Dunia II. Di lepas pantai Kalimantan mereka menemukan kembali kapal penghancur Sagiri, milik Jepang, yang tenggelam karena kecelakaan di dekat kota Kuching. Dengan pemindai sonar, mereka mengenali bentuk kapal ini. Hans menyelam dan menemukan bangkai kapal lengkap dengan torpedonya dalam tabung.

Gunung Lalakon

 

Dua hari penuh (13-14 November 2011) bersama pasangan Hans & Roz, saya tidak terlalu banyak mendengarkan perbincangan mereka tentang Atlantis. Hanya sesekali saja Roz terdengar mengucapkan sesuatu tentang Atlantis atau Lemuria. Dua hari ini, melalui permintaan seorang teman, saya bertugas menemani Hans & Roz untuk kunjungan ke Gunung Lalakon di Soreang, dan Gunung Sadahurip di Wanaraja, Garut. Kedua gunung ini, terutama Gunung Lalakon, belakangan ini memang santer diberitakan berkait dengan dugaan sementara orang tentang kemungkinan hubungannya dengan Atlantis.

Awalnya adalah kelompok peminat peradaban kuno, Turangga Seta, yang membuat dugaan ini. Entah bagaimana kelompok ini bisa menemukan kedua gunung tersebut, namun tim dari kelompok ini sempat mengadakan penelitian ilmiah ke Gunung Lalakon dan melakukan uji geolistrik dibantu beberapa ilmuwan dari LIPI dan BPPT. Dari hasil uji itu, mereka lalu mengadakan penggalian dan menemukan struktur bebatuan yang tersusun rapi dengan kemiringan 30 derajat di kedalaman 1-4 meter. Bebatuan membrojong ini dianggap sebagai bagian dari piramida yang sekarang sudah terkubur menjadi gunung.

Penemuan Gunung Lalakon dengan cerita Atlantisnya memang menimbulkan kontroversi cukup hangat di media massa maupun jaringan dunia maya atau internet. Tak kurang dari HU Pikiran Rakyat hingga VIVANews turut memberitakannya. Berdasarkan pengalaman saya mencari tahu fenomena ini melalui internet, ternyata lebih banyak tulisan yang lebih bersifat mendukung daripada membantah fenomena piramida di Gunung Lalakon. Tentu saja fakta ini tidak lantas menjadi ukuran kebenaran bagi salah satu pihak, namun paling tidak, bagi saya, dapat menunjukkan kecenderungan tertentu yang sedang berlangsung di dalam masyarakat.

Hans dan Roz yang awalnya lebih tertarik pada fenomena bawah air, akhirnya merasa tidak ada salahnya juga untuk turut melihat dan memeriksa kontroversi piramida di balik Gunung Lalakon dan Sadahurip secara langsung. Pergeseran minat ini disebabkan juga oleh ketidakpastian kelanjutan ekspedisi kelautannya yang terus tertunda karena ketiadaan biaya. Karena itulah dalam kunjungan singkatnya ke Indonesia kali ini mereka meluangkan waktu untuk mendatangi langsung gunung-gunung tersebut.

Sejak mula berada di lokasi Gunung Lalakon, Hans sudah meragukan kaitan piramida dengan gunung ini. Kesuburan daerah yang mengelilingi gunung ini membuatnya mengambil kesimpulan bahwa Gunung Lalakon adalah gunung alami dan tidak menyimpan karya manusia di dalamnya. Kesuburan tanah di sekeliling gunung sangat berhubungan dengan gunung itu sendiri, sebuah gunungapi yang sudah sangat lama mati. Pengambilan kesimpulan seperti ini akan sangat jelas saat mengunjungi Gunung Sadahurip di Wanaraja keesokan harinya. Wilayah di sekitar Gunung Sadahurip memang sangat subur dan karena itu sepanjang mata memandangi wilayah ini, kita hanya akan lihat ladang-ladang saja.

Gunung Sadahurip

 Kunjungan ke Sadahurip sudah dimulai sejak pagi sekali. Jam 8 pagi kami sudah berada di dekat Limbangan untuk menikmati secangkir kopi. Hans memilih air kelapa muda, langsung dari butirnya. Melalui Pak Oman Abdurahman, kami mendapatkan kontak di Wanaraja, seorang teman yang bernama Euis Keukeu Maryam, yang akan mengantarkan kami ke Sadahurip. Sepanjang perjalanan ini nyata sekali pasangan Hans & Roz menikmati seluruh pemandangan yang hadir di depan mereka, tak terkecuali jajaran delman yang memenuhi jalur jalan Karangpawitan hingga Wanaraja. Roz sedapatnya merekam kereta-kereta kuda itu dengan handycamnya untuk oleh-oleh bagi anaknya.

Tidak sulit menemukan rumah Ibu Keukeu, namun untuk menyingkat waktu, pertemuan kami langsungkan di sebuah rumah makan sekalian menyiapkan energi untuk pendakian. Sayang, karena pekerjaan rumahnya, Ibu Keukeu tidak dapat serta dan sebagai gantinya adalah suaminya yang akan mengantarkan kami ke puncak Sadahurip. Usai makan, kami berlima langsung menuju lokasi gunung melalui jalur-jalur jalan sempit di sepanjang Kecamatan Pangatikan. Sejak meninggalkan jalan raya Pangatikan, sepanjang beberapa kilometer jalur jalan terus menanjak landai.

Banyak pemandangan menarik dalam perjalanan ini. Kelompok gunung-gunung di sekitar kami tidak ada habisnya. Susahnya, tidak ada warga yang dapat mengenal baik nama-nama pegunungan yang kami lewati. Mungkin karena letaknya yang memang cukup jauh juga, sehingga tidak menjadi keseharian mereka. Namun dalam peta, dapat saya lihat kemungkinan nama beberapa gunung ini, di antaranya Gn. Cakrabuana, Gn. Karacak, Gn. Talagabodas, dan Gn. Sadakeling. Gunung-gunung yang lebih dekat kami tanyakan kepada para petani, namun jawabannya tidak terlalu meyakinkan, di antaranya, Gn. Kaboh, Gn. Karaha, Gn. Gerosi, dan Gn. Putri.

Setelah melalui jalan kaki yang panjang di antara ladang yang terus menanjak, kami tiba di lereng Sadahurip dan menemukan sebuah pemandangan spektakuler (bagi saya), yaitu sebuah cekungan mirip bekas kepundan gunungapi seperti yang saya lihat di Sumur Jalatunda, Dieng. Namun saya tidak dapat melihat dasarnya karena jauhnya. Di depan cekungan ini adalah lembah sempit yang memanjang dan terdengar cukup keras suara aliran sungai di bawahnya. Tampak dua tebing tinggi dengan bagian puncak yang mengingatkan saya pada Gunung Batu di Lembang. Dari warga kami dengar bahwa pada tahun 1980-an sebuah pesawat kecil pernah terjatuh di wilayah ini. Hingga beberapa lama bangkai pesawat masih terserak di situ.

Kondisi lingkungan selama perjalanan dan pendakian Gunung Sadahurip ternyata telah membuat Hans meragukan kisah piramida di balik gunung itu. Menurutnya semua yang ada di wilayah ini adalah hasil kerja alam karena keberadaan gunungapi. Kesuburan tanah akibat debu vulkanik, jalur-jalur aliran lava, dan beberapa amatan lain telah membuatnya mengambil kesimpulan bahwa Gunung Sadahurip adalah murni karya alam, sebuah gunungapi yang telah lama mati. Selewatan saya mendengarkan obrolan mereka, Roz yang mengatakan bahwa Hans adalah seorang pesimistis, dan sangkalan Hans yang menyatakan bahwa dirinya adalah seorang skeptis dan bukan pesimis. Sepanjang jalan pasangan ini mendiskusikan amatan mereka masing-masing. Saya tidak terlalu mengikuti obrolan serius ini, mencatat kesimpulan yang akhirnya diambil oleh Hans, baik Lalakon maupun Sadahurip, keduanya adalah murni karya alam dan samasekali tidak menyimpan campur tangan manusia di baliknya.

Walaupun merasa gagal menemukan piramida, namun Hans dan Roz samasekali tidak menyesali perjalanan mereka ke dua lokasi gunung ini. Pertama, karena mereka memang tidak menginginkan apa pun kecuali memuaskan rasa kepenasaran mereka tentang peradaban kuno yang hilang, dan kedua, mereka menemukan gantinya yang tak tertandingi dan di luar bayangan mereka sendiri, yaitu pemandangan luar biasa sepanjang perjalanan antara Bandung – Soreang – Garut. Pengalaman mereka dengan Pulau Jawa selama ini hanyalah Jakarta – Bogor, dan sungguh tidak menyangka bahwa di wilayah yang lebih ke dalam dapat menemukan pemandangan pegunungan hijau yang spektakuler. Sepanjang jalan menemani pasangan ini, itulah yang saya dengar; spectacular, amazing, wonderful, what an adventure, dan seterusnya dan seterusnya.

Bagi saya sendiri yang tidak terlampau terlibat dengan misteri peradaban kuno dengan segala kontroversinya, mendengarkan decak kagum tak henti dari pasangan petualang ini sudahlah cukup membahagiakan, mungkin rasanya seperti menemukan piramida itu sendiri.

Salam.

Ridwan Hutagalung

Bandung, 18 November 2011

Nb. Sumber informasi utama untuk data-data di atas adalah buku “Peradaban Atlantis Nusantara” (Ufuk, 2011) suntingan Ahmad Y. Samantho & Oman Abdurahman.